Tiga mahasiswa Indonesia merasa beruntung bisa masuk Australia pertama kali sejak delapan bulan pandemi

Tiga mahasiswa asal Indonesia masuk dalam program percontohan pemerintah Teritori Utara untuk mendatangkan pelajar internasional pertama kalinya sejak delapan bulan penutupan perbatasan karena pandemi virus corona.

Tiga mahasiswa Indonesian yang beruntung

Tiga mahasiswa Indonesia masuk dalam program percontohan Teritori Utara untuk mendatangkan pelajar internasional pertama kalinya sejak delapan bulan pandemi. Source: Supplied

Tiga mahasiswa asal Indonesia termasuk dalam kelompok pelajar internasional yang pertama kalinya diperbolehkan masuk ke Australia sejak penutupan perbatasan pada bulan Maret karena pandemi virus corona.

Teritori Utara menjadi wilayah hukum pertama yang menyambut pelajar internasional di bawah program percontohan untuk mendatangkan kembali mahasiswa asing.

Program percontohan yang juga melibatkan pelajar Indonesia telah direncanakan juga oleh pemerintah Australia Selatan, tapi tertahan karena merebak kembali kasus COVID-19 di Adelaide dua pekan lalu.
Pesawat yang dicarter Charles Darwin University dari Singapura membawa 63 mahasiswa dari Indonesia, China, Hong Kong, Jepang, dan Vietnam mendarat di Darwin pada Senin pagi. 




Ketiga mahasiswa Indonesia, Mujiburrahman Thontowi, Nicholas Kurniawan, dan Rifqi Susanto Putra kepada Alfred Ginting dari SBS Indonesian pada Senin 30 November malam mengatakan mereka merasa lega akhirnya bisa menginjakkan kaki di Darwin.
Menuju lokasi karantina untuk 14 hari di Darwin
Tiga pelajar Indonesia di Charles Darwin University di dalam bisa yang membawa mereka dari bandara Darwin ke lokasi karantina di Howard Springs. Source: Supplied
Ketiganya membayar tiket pesawat $2.500 dari Jakarta sampai Darwin.

Sesuai aturan protokol kesehatan nasional orang yang tiba dari luar negeri harus menjalani karantina di fasilitas yang ditentukan pemerintah dengan menangung sendiri biaya karantina 14 hari sekitar $2.500.

Untuk kelompok yang mengikutkan pelajar dari Indonesia ini, biaya karantina ditanggung oleh universitas.

Kesehatan mental juga prioritas

Mujib mengatakan mereka diminta untuk menjalani tes usap 72 jam sebelum keberangkatan. 

Begitu pesawat mendarat di Darwin, petugas medis naik ke pesawat dan membagikan materi informasi kesehatan.

"Kami dijelaskan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, bagaimana proses skrining di bandara, dan bagaimana di lokasi karantina. Kami diminta untuk jujur tentang kondisi kesehatan," kata Mujib.

"Keluar dari pesawat kami dikawal ke imigrasi. Kami ditanya apakah pernah bertemu orang positif COVID, apakah ada merasakan gejala COVID, suhu tubuh diukur. Setelah itu kami melewati custom dan keluar langsung menuju bis. Begitu masuk bis sudah tidak bisa lagi keluar, perjalanan dikawal polisi."

Setiba di lokasi karantina di Howard Springs yang berjarak satu jam dari bandara, suhu tubuh mereka kembali diukur dan kemudian mendapat pembagian kamar berdasarkan negara asal.

"Jam tiga sore kami swab test untuk pertama kalinya di Australia. Kami diminta hanya tinggal di kamar, atau di teras depan. Bisa jalan untuk penyegaran setiap hari di area karantina maksimal 20 menit," kata Mujib.

"Kalau duduk di teras boleh tanpa masker, tapi kalau ada orang mendekat harus pakai masker."

Mereka mendapatkan paket dari CDU yang berisi beragam materi informasi, kartu sim, makanan, crayon, kartu permainan, puzzle dan alas yoga.
Kesehatan mental
Mahasiswa Charles Darwin University yang baru tiba mendapat paket barang yang membantu mereka melewati karantina 14 hari yang rentan timbulkan persoalan mental. Source: Supplied
Menurut Mujib berdasarkan pengalaman karantina orang cepat jenuh dan tertekan.

"Jadi kampus sangat fokus pada kesehatan mental selain kesehatan fisik. Setiap hari ada kelas yoga yang bisa kami ikuti dari teras," kata Mujib yang sebelum sekolah di Darwin bekerja untuk organisasi Save The Children. 

Mujib mengatakan kondisi di tempat karantina sangat nyaman dan kondusif untuk dirinya belajar.

"Jadi saya anggap saja disuruh liburan dulu dua minggu sebelum bisa bebas beraktivitas di luar."

"Tadi siang saya ada konferensi internasional dimana saya jadi pembicara. Saya akan ada konferensi internasional lagi 3 Desember saya juga jadi pembicara. Jadi ada kesibukan untuk terhindar dari kejenuhan."
Howard Springs
Di lokasi karantina Howard Springs, Darwin orang bisa keluar kamar, tidak seperti karantina hotel di gedung tinggi di kota besar Sydney dan Melbourne. Source: Supplied
Dalam dua pekan karantina Rifqi berencana mengisi waktu dengan belajar ilmu masak untuk mempersiapkan dirinya menjalani perkuliahan.

Sementara Nicholas akan mengikuti pelatihan online yang disediakan CDU seperti tips membuat resume untuk membantunya mencari pekerjaan paruh waktu nantinya.

Nicholas dan Rifqi adalah mahasiswa tahun pertama program sertifikat IV jurusan tata boga di CDU.

Rifqi mendapat kabar dari CDU kalau dirinya bisa ikut pada program percontohan ini pada bulan lalu .

"Seharusnya saya mulai kuliah bulan Juli tapi diundur. Awalnya yang diperbolehkan masuk mahasiwa dari China, lalu perwakilan CDU mengabari karena masih ada tempat kosong di pesawat kami bisa ikut," kata Rifqi yang mendapat beasiswa semester pertama dari CDU. 

Rifqi memilih jurusan tata boga di CDU karena anjuran tantenya Wulan Morling yang sudah lama tinggal di Darwin.    

Nicholas memilih jurusan itu selain karena dia hobi memasak juga karena anjuran kakak sepupunya yang mengambil jurusan yang sama.

Rifqi mengatakan dia sedang berusaha untuk menyesuaikan diri dengan budaya dan kebiasaan hidup di Australia, terutama makanan.

"Tadi kami diberi makan siang salad. Rasanya aneh sekali, jadi saya cuma bisa makan satu sendok. Untungnya saya bawa mie instan," kata Rifqi tertawa.

Masuk tanpa tahu kapan bisa keluar

Mujib menjalani program PhD sejak tahun 2018 atas beasiswa LPDP Kementerian Keuangan.

Pada November lalu ia kembali ke Indonesia untuk penelitian lapangan di Bali dan Lombok untuk disertasinya tentang peringatan dini bencana.

Seharusnya ia kembali ke Darwin pada 2 April, tapi Australia telah menutup perbatasan untuk menahan pandemi virus corona pada bulan Maret.

Mujib merasa tertekan karena dirinya tidak bisa kembali ke Australia pada bulan April.

"Seharusnya ini tahun terakhir saya untuk mengolah data, bimbingan dan menulis pokok disertasi. Bimbingan dan diskusi jarak jauh dengan dosen lewat Zoom dan Whatsapp sangat tidak mudah," kata Mujib.

"Pada saat yang sama di Jakarta, anak harus belajar dari rumah. Jadi selain menulis hasil penelitian saya juga harus mendampingi anak belajar untuk memastikan semua tugas-tugasnya dikerjakan dengan baik. Itu juga berat."

"Untungnya kampus memberi saya perpanjangan waktu enam bulan, yang sangat membantu ketika belum ada kepastian kapan perbatasan akan dibuka."

Sebenarnya tahun ini Mujib bisa mendatangkan keluarganya untuk ikut menemaninya di Darwin, tapi karena pandemi tidak diperbolehkan.

Australia belum menetapkan kapan akan membuka perbatasan seperti sedia kala, jadi kalau mereka ingin keluar Autralia akan tidak mudah lagi mendapatkan izin untuk masuk kembali.

"Jadi sekarang saya hanya ingin secepatnya selesai studi supaya saya bisa segera pulang, karena belum mungkin untuk keluarga saya yang ke sini," kata Mujib.
Mahasiswa Charles Darwin University
Program percontohan untuk mendatangkan pelajar internasional juga direncakan oleh Australia Selatan tapi tertahan karena merebaknya kasus positif COVID baru. Source: Supplied
Rifqi akan merayakan Idul Fitri pertamanya jauh dari keluarga tahun depan.

"Lumayan sedih, tapi saya akan tinggal dengan tante saya jadi setidaknya tidak sendirian," kata Rifqi.

Nicholas juga sudah membayangkan dirinya akan merayakan Tahun Baru Imlek yang tak lama lagi tanpa bisa berkumpul bersama keluarga. 

"Saya akan tinggal dengan kakak sepupu saya. Sedih juga bakal merayakan Imlek hanya berdua, tidak bisa ramai seperti biasanya," kata Nicholas.

Bersyukur bisa kembali ke Darwin untuk bisa menyelesaikan studinya, Mujib cukup risau kalau anaknya kembali masuk sekolah Januari mendatang, sementara angka positif COVID di Jakarta saat ini masih sangat tinggi.

Mujib mengatakan melihat suasana tiga bandara yang ia singgahi menunjukkan bagaimana orientasi negara menghadapi pandemi.

"Di bandara Changi dan Darwin aktivitas komersial sangat sepi karena hampir 90 persen toko tutup."

"Tapi di bandara Soekarno Hatta, hampir semua toko masih buka meski penerbangan internasional sangat sedikit. Jadi bisa terlihat negara mana yang menekankan protokol kesehatan atau mengutamakan perputaran ekonomi."





Share
Published 1 December 2020 3:59pm
Updated 1 December 2020 7:49pm
By Alfred Ginting

Share this with family and friends