Pekan lalu muncul kembali desakan untuk memberikan amnesti atau "resolusi status" bagi pekerja tidak berdokumen di Australia di tengah kekhawatiran kelompok ini terabaikan dalam program vaksinasi COVID-19.
Meskipun pemerintah Australia mengratiskan vaksinasi, identitas penerima vaksin akan dicatat, sesuatu yang dihindari oleh para pekerja yang tidak berdokumen.
Sekitar 70 persen pekerja di sektor pertanian adalah warga asing dan dari banyak temuan mereka mendapat upah hanya $3 per jam.
Sementara itu banyak pertanian yang membayar dengan standar upah minimum kesulitan mendapat pekerja karena sejak penutupan perbatasan Maret 2020 pelancong dengan izin kerja tidak bisa masuk Australia.
Saat ini diperkirakan ada sekitar 100 ribu pekerja gelap yang tidak memiliki izin kerja maupun visa untuk tinggal di Australia dan sekitar 70 ribu dari mereka bekerja di sektor pertanian, sisanya di sektor hospitalitas dan pembersihan.
Yenni* adalah pekerja migran tanpa dokumen asal Indonesia yang datang ke Australia lima tahun lalu dengan visa turis.
"Ketika itu suami saya baru pensiun, saya khawatir uang pensiun tidak cukup untuk hidup kami, dan suami saya tidak punya bakat berbisnis. Saya dengar dari orang kerja di Australia bisa menghasilkan banyak," kata Yenni.
Awalnya Yenni datang bersama suaminya dan mendapat pekerjaan memetik strawberry di Queensland.
Setelah dua bulan, mereka kembali ke Indonesia dan Yenni datang lagi ke Australia sendirian dan bekerja di pertanian di sekitar Melbourne.
Dari situ ia kemudian mengenal seorang agen penyalur pekerja yang dikenal dengan nama Sang, asal Kamboja, yang menawarkannya pekerjaan di perkebunan anggur di Cheshunt, desa kecil sekitar 280 kilometer di timur laut kota Melbourne.
Ketergantungan pada perantara
Banyak perkebunan anggur di Australia tidak hanyak memproduksi wine tapi juga memiliki restoran dan penginapan, seperti tempat Yenni bekerja.
"Saya bekerja mengurus rumah tamu, ada tiga kamar. Sesekali diminta membantu di pembotolan dan di akhir pekan membantu di dapur," kata Yenni yang lahir tahun 1965.
Dengan statusnya tanpa visa kerja, adalah ilegal bagi perusahaan untuk mempekerjakan Yenni.
Perantara seperti Sang dibutuhkan untuk merekrut orang dan menerima pembayaran gaji dari perusahaan yang kemudian diteruskan ke pekerja setelah dipotong komisi.
"Yang saya tahu gaji saya yang dibayar perusahaan ke agen sekitar $25 per jam. Saya mendapat sekitar $16 per jam, ditransfer lewat bank setiap minggu," kata Yenni.
Setiap dua pekan Yenni mengirim uang ke keluarganya ke Jakarta setidaknya $1000 setiap dua pekan.
Pernah suatu ketika Seng liburan ke luar negeri beberapa minggu, dia tidak mentransfer gaji Yenni.

Migrant housekeeper underpaid by labour hire firm. Source: Wikimedia Public Domain
"Saya tidak gajian beberapa minggu, dia bilang akan dicicil dengan gaji saya per minggunya. Sampai sekarang dia masih ada utang beberapa ratus dolar yang belum ditransfer ke saya," kata dia.
Yenni mengatakan pemilik perusahaan mengetahui situasi pengupahan yang dialami Yenni, tapi mereka tidak berbuat banyak.
"Dia pernah bilang sebenarnya kalau bisa dia ingin menggaji saya langsung. Tapi sulit buat dia lepas dari agen seperti Sang, entah kenapa dia seperti terjebak juga," kata Yenni.
Terpukul pandemi
Tahun lalu kota Melbourne mengalami kuncitara (lockdown) total delapan bulan larangan atau batas bepergian memukul bisnis hospitalitas di daerah regional yang mengandalkan turis.
"Turis sudah sepi sejak Desember 2019 karena kebakaran hutan. Lalu Maret 2020 mulai lockdown. Turis mulai datang lagi November 2020. Jadi hampir setahun di sini mati," kata Yenni.
Selama hampir setahun itu, Yenni mendapat upah sangat minim karena jam kerja yang sedikit, sekitar 10 jam per minggu.
"Pemilik perusahaan berusaha supaya saya bisa dapat jam kerja yang cukup untuk biaya sewa rumah saya $70 per minggu dan kebutuhan sehari-hari," kata dia.
"Saya tidak bisa mengirim uang ke Indonesia. Kadang saya pinjam sana-sini untuk bisa kirim paling tidak $300-400 per dua minggu. Saya tidak bisa apa apa, lebih banyak di rumah, memperbanyak ibadah."
Hidup terisolasi
Banyak orang yang datang ke Australia memanfaatkan celah keimigrasian dengan mengajukan visa perlindungan (protection visa) setelah tiba di Australia dengan visa turis.
Saat permohonan visa perlindungan diterima mereka mendapat bridging visa yang memungkinkan mereka bekerja secara legal setidaknya tiga sampai lima tahun sampai mendapat keputusan akhir tentang permohonan visanya.
"Saya tahu banyak orang yang gelap seperti saya akhirnya bisa dapat bridging visa, tapi saya tidak tahu bagaimana caranya. Di sini tidak ada orang Indonesia lain. Paspor Indonesia saya saja sudah mati," kata dia.
Selain jauh dari komunitas pekerja migran Indonesia yang membuatnya minim informasi, Yenni yang tidak memiliki kendaraan juga mobilitasnya tergantung pada pemilik perusahaan dan kenalannya yang memiliki kendaraan.
"Kota terdekat dari sini Wangaratta, sekitar satu jam. Untuk belanja ke sana, saya diantar," kata Yenni.
Yenni mengatakan sudah sebulan belakangan dia terpikir untuk keluar dari pekerjaannya dan pindah mencari kerja di tempat lain.
"Saya tahu banyak pekerjaan di pertanian, tapi mengingat usia belum tentu saya kuat bekerja di pertanian. Saya merasa paling cocok bekerja di pembersihan seperti sekarang," kata dia.
"Saya belum tahu harus bagaimana mengatakan untuk keluar kepada pemilik perusahaan. Mereka sebenarnya sangat baik kepada saya karena saya sudah setia bekerja selama empat tahun. Tapi saya merasa harus keluar dari situasi ini."
*Kami memakai nama anonim untuk narasumber ini